MEDAN, kedannews.com – Keberanian seorang jurnalis muda, Koko Syaputra (31), dalam mengungkap dugaan skandal asmara Bupati Humbang Hasundutan (Humbahas) berujung teror mengerikan. Ia mendapat ancaman serius usai membagikan ulang berita dugaan perselingkuhan sang bupati, yang disebut terjadi saat masih menjabat sebagai Wakil Bupati, dengan seorang oknum ASN di lingkungan Pemprov Sumatera Utara.
Ancaman itu membuat Koko melapor ke Polda Sumut. Laporan resmi tercatat dengan nomor: STPL/B/592/IV/2025/Polda Sumatera Utara tertanggal 23 April 2025.
Koko, warga Jalan Pimpinan, Kecamatan Medan Perjuangan, Medan, Sumut, memposting ulang berita tersebut di akun Facebook miliknya bernama Syahputra Wijaya, pada 10 April 2025. Tak berselang lama, sekitar pukul 21.11 WIB, ia menerima pesan bernada ancaman melalui Facebook Messenger dari akun bernama Moko Purba.
Isi pesannya sangat intimidatif, berbunyi:
“PP muse di baen ho ake dapot do ho manang na ise. Dapot doho manang na ise pente ma. Iya yahh tunggu bagian-mu.”
Yang bila diterjemahkan secara bebas berarti:
“Pastikan kau diam atau kau akan menghadapi konsekuensinya. Kau akan menerima akibatnya. Ya, tunggu bagianmu.”
Merasa keselamatannya terancam, Koko langsung mengambil langkah hukum dengan melaporkan akun tersebut atas dugaan pelanggaran Undang-Undang ITE.
Namun, langkah beraninya tidak langsung mendapat respon cepat dari aparat kepolisian. Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Ferry Walintukan, awalnya mengaku tidak mengetahui laporan tersebut. Ia bahkan harus beberapa kali bertanya detail kepada wartawan sebelum akhirnya menyadari bahwa laporan itu benar-benar ada.
Respons lambat ini memicu kritik dari kalangan jurnalis. Lilik Misyardi, wartawan senior yang kini aktif di Forum Wartawan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Forwaka-Sumut), mengatakan bahwa ketidaktahuan Kabid Humas mencerminkan buruknya koordinasi internal. Ia juga menyoroti pernyataan Kombes Ferry yang mempertanyakan status pekerjaan Koko – disebut sebagai wiraswasta, bukan wartawan.
“Pertanyaannya adalah, apakah status pekerjaan mempengaruhi validitas sebuah laporan polisi? Apakah laporan harus melalui media massa agar dianggap serius?” kata Lilik dengan nada heran.
Ia menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar soal ancaman terhadap seorang individu, tapi juga soal kebebasan berekspresi dan hak publik atas informasi.
“Publik berharap Polda Sumut segera menindaklanjuti laporan ini secara profesional dan menjamin keselamatan Koko Syaputra. Proses hukum yang transparan sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat,” tegas Lilik, yang pernah berkarier di Top Metro dan Harian Orbit.
Menurutnya, jika ancaman terhadap jurnalis seperti ini dibiarkan, maka kebebasan informasi dan pers di Indonesia akan terancam.
“Penegak hukum harus memastikan bahwa warga yang berani bersuara tidak menjadi korban intimidasi dan kekerasan. Ini tanggung jawab konstitusional,” pungkasnya.