MEDAN, kedannews.com – Adanya kasus dugaan jual beli lahan dilakukan para preman yang dibelakangnya diduga ada keterlibatan kapala desa di kawasan Desa Sampali Percut Sei Tuan Deliserdang sampai penyerobotan lahan PWI Sumut, telah memantik kemarahan wartawan.
Dengan adanya penyerobotan lahan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut yang beralamat di Jalan PWI Desa Sampali Percut Sei Tuan itu, maka puluhan wartawan di Medan rapat akbar melawan aksi preman. Premanisme ternyata masih terus menjadi ancaman serius bagi masyarakat Kota Medan.
Gilanya, meski sudah dilapor ke Polrestabes Medan dan jajarannya, namun para preman itu justru seperti tak perduli, dengan terus melakukan aksi yang meresahkan warga.
Parahnya lagi, layanan pengamanan dari Polrestabes Medan dan jajarannya, selalu datang terlambat. Layanan lambat aparat keamanan inilah yang membuat masyarakat terus dihantui ketidaktenangan akibat aksi pereman tersebut.
“Situasi tidak aman seperti inilah yang sekarang ini dirasakan oleh ratusan wartawan dan warga lainnya yang memiliki kavling perumahan di Komplek Perumahan PWI, Jalan PWI dan beberapa lahan kosong yang ada di Desa Sampali, Percut Sei Tuan, Delisersang,” kata H Hermasyah di ruang kerjanya, Senin (25/1/2021).
Menurut Hermasyah, saat ini para wartawan pemilik kavling di Komplek Perumahan PWI Desa Sampali, dihantui rasa ketakutan akibat aksi barbar para preman. Sebab saat ini, para preman yang dipimpin pria bermarga Galingging itu, terus melakukan penyerobotan secara paksa atas tanah yang sudah dikuasai para wartawan sejak tahun 2004.
Karena itu, akibat tidak tahan lagi dengan gangguan para preman tersebut, sekitar 70-an orang wartawan dan warga lainnya selaku pemilik kavling di Komplek Perumahan PWI tersebut, Sabtu (23/1) kemarin, langsung menggelar rapat di kawasan Komplek Perumahan PWI, Desa Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deliserdang.
Dalam rapat yang dipimpin Ketua PWI Sumut Hermansyah dan Sekretaris Edward Thahir itu, dibahas juga aksi preman yang semakin beringas yang terus merampas tanah warga.
Misalnya, para kelompok preman Galingging Cs itu telah merampas kavling perumahan nomor B-15 milik Nizam, wartawan yang juga Kepala Biro Harian Waspada di Rantau Prapat.
Di bawah komando Galingging Cs, para kelompok preman itu bahkan sudah membangun rumah di atas tanah milik Nizam tanpa sepengetahuan Nizam sendiri selaku pemilik kavling.
Dalam rapat puluhan wartawan tersebut, para wartawan juga membahas upaya untuk mengusir aksi para preman. Termasuk dengan cara melapor ke pihak kepolisian. Sayangnya, dalam rapat itu terungkap kekecewaan para wartawan atas lambatnya layanan pengamanan pihak kepolisian.
Menurutnya, aksi premanisme yang merampas tanah di Komplek Perumahan PWI Sampali itu, sudah dilaporkan ke Polrestabes. Tapi, sangat dikecewakan. Tindakan kepolisian sangat lambat. Sebab, aksi para preman itu terus berlanjut. Bahkan, bangunan mereka kini sudah siap sekitar 60 persen.
Upaya untuk melaporkan tindakan barbar premanisme di kawasan Komplek Perumahan PWI Sampali ini, menurut Edward Thahir, sudah berulangkali dilakukan.
Begitu juga ke Polrestabes Medan, PWI Sumut sudah berkoordinasi mengharap agar Polrestabes Medan mengambil langkah tegas membasmi para preman tersebut.
Selain itu, sebelumnya dua anggota keluarga wartawan pemilik kavling di Komplek Perumahan PWI Sampali, juga sudah melapor kepada pihak kepolisian atas tindakan premanisme yang sangat meresahkan di kawasan tersebut. Keduanya adalah Keluarga Almarhun H Nurdin Purba yang melapor ke Polsek Percut Sei Tuan akibat tindakan para preman yang terus melakukan pemerasan.
Kemudian, Alfian, yang melapor ke Polrestabes Medan akibat tindakan para preman yang mencoba merampas kavlingan tanahnya. Dan terakhir adalah laporan Nairul Nizam yang juga ke Polrestabes Medan.
Menyikapi keterlambatan pihak kepolisian inilah yang membuat Ketua PWI Sumut bertanya ada apa. Padahal tugas pihak kepolisian menjaga keamanan dan mengayomi masyarakat.
“Beberapa tahun lalu, ada satuan polisi pemburu pereman, namun sekarang kemana ya. Apakah beberapa waktu lalu hanya pencitraan saja, dan setelah itu hilang begitu saja. Sementara masyarakat membutuhkan pelindung agar hidup tentram dan damai,” kata Hermansyah serius.
Hermansyah juga menyikapi adanya dugaan kepala desa yang membekingi penjualan ataupun penyerobotan lahan di kawasan Desa Sampali, juga harus disikapi serius okeh pihak kepolisian.
Apalagi ada isu tambah Hermasyah yang mengatakan, setiap lahan tanah PTPN II di desa Sampali di jual Rp100 juta perhektar. Artinya ini sudah menyalahi undang-undang pertanahan yang mana menjual tanpa surat yang kuat dari badan pertanahan walaupun ada surat keterangan dari kepala desa.
“Kalau memang dugaan itu benar, maka selain pereman ditangkapi, kepala desa juga harus diperiksa kinerjanya selaku pejabat yang dipercaya negara dalam menjaga dan mengolah keuangan desa agar tidak menyeleweng,” ucapnya mengakhiri. (zf)