Dika tak pernah menyangka malam itu akan mengubah hidupnya. Pasar malam yang biasanya riuh justru terasa berbeda—udara lebih dingin, lampu-lampu berpendar lebih redup, dan suara orang-orang terdengar seperti bisikan samar.
Ia berjalan bersama Raka, sahabatnya, menyusuri deretan kios. Namun, matanya tertuju pada sebuah sudut gelap yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Di sana berdiri sebuah kios tua dengan papan kayu usang, nyaris roboh.
“Hei, kios itu baru ada, ya?” bisik Raka.
Dika tak menjawab. Matanya terpaku pada sepasang sepatu merah yang bersinar redup di atas meja. Di belakangnya, seorang kakek tua berambut putih tersenyum tipis.
“Maukah kau memilikinya?” suara si kakek terdengar lebih dalam dari yang seharusnya.
Dika menelan ludah. “Berapa harganya?”
Kakek itu tertawa pelan. “Sepatu ini tidak butuh harga. Hanya satu syarat—begitu kau memakainya, kau harus terus berlari. Jangan pernah berhenti.”
Dika merasa bulu kuduknya meremang, tapi entah kenapa tangannya sudah mengambil sepatu itu. Begitu ia berkedip, kios itu menghilang.
Malam itu, di halaman rumah, Dika mencoba sepatunya. Begitu talinya terikat…
“Wuusshh!”
Ia melesat seperti bayangan. Pohon-pohon di pinggir jalan hanya terlihat seperti garis-garis buram. Ia berlari, lebih cepat dari yang pernah ia bayangkan.
Namun, ada yang aneh.
Ia tak bisa berhenti.
Jantungnya berdetak cepat. Tubuhnya bergerak sendiri, lebih cepat, semakin cepat. Jalanan berubah. Rumah-rumah menghilang. Sekitarnya menjadi kabur, seperti kabut tebal yang menelan segala sesuatu.
Ia melihat pasar malam lagi, tapi… tidak seperti sebelumnya. Lampu-lampunya temaram, suara orang-orang berubah menjadi dengungan aneh. Di tengah pasar itu, kios tua itu berdiri kembali.
Dika tak bisa menghindar. Kakinya terus membawanya ke sana.
Si kakek sudah menunggu, tersenyum sama seperti sebelumnya.
“Kau melanggar syaratnya, Nak,” katanya lembut. “Sekarang, kau harus berlari… selamanya.”
Dika ingin berteriak, tapi suaranya lenyap. Seketika, tubuhnya semakin ringan, semakin kabur. Ia mencoba melihat tangannya, tapi yang tersisa hanyalah bayangan samar.
Langkah kakinya masih terdengar.
Ia masih berlari.
Namun, kini ia tak lagi punya tubuh.
Dan di sudut gelap pasar malam, sepasang sepatu merah kembali berkilau di atas meja.
Menunggu pemilik baru.
Tamat.