Matahari mulai condong ke barat ketika Arman menemukan sesuatu yang aneh di tepian Sungai Deli. Ia sedang berjalan-jalan sore, menikmati semilir angin dan aroma khas air sungai, ketika matanya menangkap secarik kertas tua yang terjepit di antara bebatuan. Rasa penasaran membuatnya membungkuk, mengambil kertas itu, dan dengan hati-hati membukanya.
Tulisan di dalamnya hampir pudar, tapi masih bisa terbaca:
“Di tepi sungai ini, aku bersumpah akan berjuang hingga titik darah penghabisan. Jika aku gugur, semoga tanah ini tak melupakan namaku.”
Arman merinding. Tangannya bergetar saat membaca nama yang tertera di bawah sumpah itu: Harun bin Saman, 1947.
“Harun bin Saman?” gumamnya. Nama itu terdengar familiar, seolah ia pernah mendengarnya dari cerita kakeknya dulu.
Dengan cepat, Arman pulang dan mengobrak-abrik rak buku tua milik kakeknya. Setelah beberapa saat, ia menemukan sebuah buku catatan berdebu yang penuh dengan tulisan tangan. Di dalamnya, ada sebuah halaman yang mencatat kisah seorang pejuang bernama Harun bin Saman, seorang pemuda pemberani yang bertempur melawan pasukan kolonial Belanda dalam agresi militer kedua. Harun dan kelompoknya sering bergerilya di sekitar Sungai Deli, menggunakan hutan dan tepian sungai sebagai tempat persembunyian.
Namun, tak ada catatan tentang apa yang terjadi pada Harun. Namanya lenyap begitu saja dari sejarah, seolah ditelan waktu.
Keesokan harinya, Arman kembali ke sungai dengan membawa buku itu. Ia berdiri di tempat ia menemukan kertas sumpah tadi, membayangkan bagaimana Harun mungkin berdiri di titik yang sama lebih dari tujuh dekade lalu.
“Harun bin Saman… Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” bisiknya.
Seolah menjawab pertanyaannya, angin bertiup kencang, membuat daun-daun berguguran dan air sungai beriak pelan. Arman menutup matanya, membiarkan keheningan menyelimuti pikirannya.
Ia tahu satu hal pasti: perjuangan Harun tak boleh dilupakan. Dan mungkin, tugasnya sekarang adalah menggali kebenaran dan menuliskannya kembali, agar sumpah di tepi sungai itu tetap hidup dalam ingatan zaman.
Setelah membaca kembali buku catatan itu, Arman semakin yakin bahwa Harun bin Saman bukanlah sekadar nama yang terlupakan. Ia ingin mencari tahu lebih dalam.
Arman mulai bertanya kepada warga sekitar, terutama mereka yang sudah tua. Beberapa dari mereka mengangguk mengenali nama Harun bin Saman, tetapi tak seorang pun tahu pasti bagaimana nasibnya.
Seorang lelaki tua bernama Pak Jais akhirnya memberi petunjuk. “Kalau kau benar ingin tahu, pergilah ke rumah tua di ujung desa. Ada sesuatu di sana yang mungkin bisa menjawab pertanyaanmu.”
Dengan semangat, Arman mengikuti petunjuk itu. Rumah tua yang dimaksud terlihat lapuk dan ditinggalkan. Namun, di dalamnya, ia menemukan sesuatu yang membuatnya terkejut.
Di sudut ruangan, terdapat sebuah peti kayu yang terkunci rapat. Setelah beberapa saat mencari, Arman menemukan kunci kecil tersembunyi di bawah papan lantai.
Dengan hati-hati, ia membuka peti itu. Di dalamnya, terdapat beberapa dokumen lama, potret seorang pemuda yang mengenakan seragam pejuang, dan sebuah buku harian.
Buku harian itu milik Harun bin Saman. Halaman-halamannya berisi catatan perjuangannya, hingga bagian terakhir yang berhenti pada tanggal 15 Desember 1947.
Terluka. Aku bersembunyi di tepian sungai. Jika aku tidak selamat, biarlah sumpahku menjadi bagian dari tanah ini.
Arman tercekat. Itu adalah hari terakhir Harun mencatat sesuatu. Tidak ada lanjutan. Tidak ada kabar.
Ia menatap foto Harun lama-lama. Tatapan pemuda itu seolah berbicara padanya, meminta agar kisah ini tidak hilang begitu saja.
Arman membawa buku itu pulang. Ia mulai menulis artikel untuk Kedan News, menceritakan kembali kisah Harun bin Saman agar orang-orang tahu, agar sejarah tidak melupakannya.
Ketika artikel itu akhirnya dipublikasikan, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Seorang pria paruh baya menghubungi Arman, mengaku sebagai cucu seorang teman seperjuangan Harun.
“Ada yang perlu kau ketahui,” katanya. “Harun bin Saman tidak mati di tepian sungai.”
Arman terpana. Ternyata, ada lebih banyak rahasia yang belum terungkap. Dan petualangan ini, baru saja dimulai.